AKtbpis6Z5HX7oz0gvCZZgOE30w78LNbDNLGi9PJ
Bookmark

Dikira Pelihara Tuyul karena Pekerjaan Tak Jelas

 Dikira Pelihara Tuyul karena Pekerjaan Tak Jelas


Kakak beradik ini menggarap proyek dari berbagai negara. Jajanan Lebaran seperti kacang, nastar, dan kue kering memenuhi meja untuk menjamu tamu yang berkunjung. Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang lebih kecil. Rupanya, di ruangan kecil itulah Arfi –panggilan Arfi’an Fuadi– bersama sang adik M. Arie Kurniawan dan dua karyawannya mengeksekusi order design engineering dari berbagai negara.

Tahun lalu Arie memenangi kompetisi tiga dimensi design engineering untuk jet engine bracket yang diselenggarakan General Electric Amerika Serikat. Arie mengalahkan sekitar 700 peserta dari 56 negara. « Saya berhasil mengurangi berat dari 2 kilogram lebih menjadi 327 gram saja. » Yang membanggakan, Arie mengalahkan para pakar design engineering yang tingkat pendidikannya jauh di atas dirinya.

Misalnya, juara kedua diraih seorang PhD dari Swedia yang bekerja di Swedish Air Force. Sedangkan yang nomor tiga lulusan Oxford University yang kini bekerja di Airbus. CAD adalah program komputer untuk menggambar suatu produk atau bagian dari suatu produk. Mereka juga belajar dari referensi-referensi yang berserak di berbagai situs tentang design engineering.

«Terus terang dulu komputer saja kami tidak punya. Kami harus belajar komputer di rumah saudara. Lama-lama kami jadi menguasai. Bahkan, para tetangga yang mau beli komputer, sampai kami yang disuruh ke toko untuk memilihkan,» kenang Arfi.

Arfi yang lulusan SMK Negeri 7 Semarang pada 2005 pernah bekerja sebagai tukang cetak foto, di bengkel sepeda motor, sampai jualan susu keliling kampung. Sang adik juga tak jauh berbeda, jadi tukang menurunkan pasir dari truk sampai tukang cuci motor. «Kami menyadari, penghasilan orang tua kami pas-pasan. Mau tidak mau kami harus bekerja apa saja asal halal,» tutur Arfi.

Komputer itu dibeli dari uang urunan keluarga dan gaji Arfi saat masih bekerja di PT Pos Indonesia. «Kami pun langsung belajar secara otodidak aplikasi CAD, perhitungan material dengan FEA , dan lain-lain,» jelasnya. Setelah mencari di situs freelance, mereka mendapat pesanan desain jarum untuk alat ukur dari pengusaha Jerman. « Modem kami dulu hanya punya kecepatan 2 kbps. »

Di luar dugaan, garapan D-Tech menuai apresiasi dari si pemesan. Sampai-sampai si pemesan bersedia menambah USD 5 dari kesepakatan harga awal. «Kami sangat senang mendapat apresiasi seperti itu. Dan itulah yang memotivasi kami untuk terus maju dan berkembang,» tegas Arfi.

Model desain yang dipesan pun makin beragam. Mulai kandang sapi yang dirakit tanpa paku yang dipesan orang Selandia Baru sampai desain pesawat penyebar pupuk yang dipesan perusahaan Amerika Serikat. «Pernah ada yang minta desain mobil lama GT40 dengan handling yang sama. Untuk proyek itu, si pemilik sampai harus membongkar komponen mobilnya dan difoto satu-satu untuk kami teliti.

Jadi, kami yang menentukan mesin yang harus dibeli, sasisnya model bagaimana dan seterusnya. » Tentu saja hasil finansial yang diperoleh pun signifikan. Tapi, di sisi lain, capaian yang cukup mencolok itu sempat mengundang cibiran dan tanda tanya para tetangga. «Kami dicurigai memelihara tuyul.

Mereka tidak tahu pekerjaan dan prestasi yang kami peroleh,» cerita Arfi seraya tertawa. Sayangnya, dari 150 proyek itu, hanya satu yang dipesan klien dalam negeri. «Satu-satunya klien Indonesia adalah dari sebuah perusahaan cat. » «Kalau ditanya apakah tidak ingin membantu perusahaan nasional, kami tentu mau.

Di Indonesia kan yang ditanya pertama kali lulusan apa dan dari universitas mana,» ujarnya. Stigma «hanya berijazah SMK» ditambah sistem pendidikan Indonesia yang dinilai kurang adil itulah yang ikut mengandaskan keinginan Arie melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 di Teknik Elektro Universitas Diponegoro Semarang. « Padahal, lulusan SMA yang sebenarnya juga tidak sesuai diterima. » Bersama sang kakak, dia tetap ingin menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa.

Dan itu telah dibuktikan dengan menjuarai kompetisi design engineering di Amerika yang diikuti para ahli dari berbagai negara. «Ada beberapa anak SMK yang datang ke kami untuk belajar. Sekarang ada yang sudah kerja di bidang itu. Ada juga yang bakal ikut kompetisi Asian Skills Competition sebagai peserta termuda,» jelasnya.

«Kami bekerja sama dengan anak-anak SMK untuk mengembangkan biodiesel dari minyak jelantah. Lalu, Mas Ricky Elson pernah menghubungi lewat Facebook, ingin menjalin kerja sama dengan kami. Tentu saja kami terima,» ungkapnya. «Kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat industri manufaktur dunia. »

Posting Komentar

Posting Komentar